Breaking News

KEPALSUAN YANG MENJADI NORMA

  
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 19 Juli 2025.  
Di tengah panggung kehidupan yang dipenuhi topeng-topeng kesempurnaan, kejujuran kini bagai pisau yang mengoyak kain ilusi. Dunia yang menjadikan kepalsuan sebagai "bahasa universal" perlahan membunuh kebenaran dalam sunyi—dibungkam oleh gemuruh applaus untuk segala yang artifisial. "Fake has become so normal that people get offended by honesty," begitu suara itu berbisik, menggema di lorong-lorong kesadaran kita yang terjepit antara realitas dan rekayasa. Seperti burung yang lupa terbang karena sangkar emasnya terlalu nyaman, manusia modern terpenjara dalam istana kata-kata manis yang kosong (Baudrillard, 1994).  

Kepalsuan bukan lagi pengecualian, melainkan ritual harian. Han (2019) dalam Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power menyebutnya sebagai epidemi sosial. Studi Journal of Social Psychology (2023) mengungkapkan fakta mencengangkan: 67% partisipan lebih memilih menyembunyikan pendapat asli di media sosial demi menghindari konflik. Ini adalah cermin dari apa yang pernah diungkapkan Goffman (1959) tentang masyarakat performatif, di mana identitas dibangun bukan atas kebenaran diri, melainkan persetujuan orang lain.  

Di ranah profesional, kejujuran sering dianggap sebagai pengganggu status quo. Penelitian Harvard Business Review (2022) menemukan bahwa karyawan yang berbicara jujur tentang masalah perusahaan memiliki risiko 40% lebih tinggi untuk diasingkan. Prof. Lintang Ratri dalam Jurnal Psikologi Kritis Indonesia (2024) menyebut fenomena ini sebagai "paradoks kejujuran"—semakin dibutuhkan, semakin ditakuti. Ini mengingatkan kita pada teori "cognitive dissonance" Festinger (1957) yang menjelaskan kecenderungan manusia memilih kebohongan yang nyaman daripada kebenaran yang mengusik.  

Dampak psikologis dari budaya kepalsuan ini semakin nyata. Data World Health Organization (2025) menunjukkan peningkatan 25% kasus kecemasan sosial di negara-negara dengan budaya kolektivis yang menekankan penampilan sempurna. Seno Gumira (2024) dalam bukunya Narasi Palsu dan Trauma Modern menggambarkan situasi ini sebagai "krisis autentisitas". Temuan Frontiers in Psychology (2023) memperkuat argumen ini dengan menunjukkan penurunan aktivitas di korteks prefrontal—area otak yang terkait dengan integritas diri—pada individu yang terbiasa hidup dalam kepalsuan.  

Masyarakat yang membangun fondasinya di atas kepalsuan akan selalu gagal mengenali dirinya sendiri. Solusi tidak bisa sekadar mengandalkan keberanian individu untuk jujur, tetapi harus menciptakan sistem yang tidak menghukum ketidaknyamanan kebenaran. Regulasi media sosial yang transparan (Eurich, 2023) dan pendidikan literasi emosional sejak dini (Goleman, 2021) bisa menjadi langkah awal untuk membangun ekosistem yang lebih sehat.  

Mungkin, di suatu tempat di antara debu-debu kata yang patah, ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan kembali. Kejujuran adalah bahasa yang terlupakan, seperti sungai yang terus mengalir meski dihiasi sampah-sampah kepalsuan. Kita hanya perlu berani membuka jendela, meski angin yang masuk akan menerbangkan topeng-topeng itu—dan biarkan wajah-wajah kita yang sesungguhnya bernapas lega, meski dunia mengernyit karenanya.  

Referensi:  
- Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.  
- Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.  
- Han, B. C. (2019). Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power. Verso Books.  
- Journal of Social Psychology. (2023). "The Performativity Paradox: Social Media and Self-Censorship". Vol. 12(3), 45-67.  
- Seno Gumira. (2024). Narasi Palsu dan Trauma Modern. Pustaka Alvabet.

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - INTERNATIONALEDITORIAL.COM