Breaking News

Pertamax Oplosan Pertamina Harus Melengkapi Informasi


DR. Ing. Ir. Tri Yuswidjajanto Zaenuri seorang ahli konversi energi dari ITB, di wawancarai oleh SCTV tentang kasus Mega Skandal korupsi Pertamina Patra Niaga sebesar Rp.193.7 T

Beliau katakan, yang menjadi viral adalah isu "oplosan", dan bukan kasus penyelewengan nomenklatur pembelian, dengan skema import *NAFTA*(campuran hidrokarbon cair yang mudah terbakar, yang merupakan komponen utama BBM)

Pembelian *NAFTA* atau bahan baku BBM yang dilakukan Riva Siahaan dan kawan kawan, yaitu pembelian *NAFTA* yang biasa dipakai memproduksi BBM Ron 90, namun di sebutkan Ron 92 dalam dokumen selama 5 tahun dari tahun 2018 hingga tahun 2023, justru yang jadi viral adalah *oplosan* atau *Blending* yang menurut beliau lazim dilakukan oleh produsen BBM manapun.

Peraih gelar Doktor (S3) dari Technische Universität Clausthal, Jerman tersebut  menjelaskan bahwa skema *oplosan* (Bahasa: Jawa yang artinya mencampur) adalah sama saja dengan istilah *Blending* (Bahasa: Inggris) yang bermakna mencampur juga.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pencampuran itu dilakukan karena produk kilang itu tidak langsung memproduksi BBM yang sudah jadi, seperti yang kita kenal namanya Premium,Pertalite, atau Pertamax, tapi masih berupa *NAFTA* yang memiliki range Ron, kira kira antara Ron 60 hingga Ron 80 saat proses *distilasi* (pemisahan), kemudian dilanjutkan dengan proses *kraking* (memecah molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil), *reforming* (mengubah struktur molekul hidrokarbon melalui reaksi kimia, seperti dehidrogenasi, isomerisasi, atau siklisasi) dan penghilangan senyawa pengotor seperti belerang, yang menghasilkan bahan bakar berkualitas tinggi, atau RON yang di persyaratkan.

Misalnya dengan NAFTA Ron 90, harus di Blending dengan yang memiliki Ron 95, sehingga di dapatkan hasil akhir produk dengan  Ron 92.

Jika proses dari kilang ini sudah selesai, maka akan di kirim ke Pertamina Patra Niaga, di situ akan di lanjutkan pemberian *additive* agar kelak dalam ruang bakar mesin mobil atau motor, akan tetap bersih dari kerak sisa pembakaran, sehingga menaikkan angka oktan atau mengurangi emisi gas buang.

Selain itu juga Pertamina Patra Niaga, akan memberi warna pada bahan bakar itu, sebagai pembeda atau identifikasi ( Dalam bahasa Jepang nya: Pokayoke, atau pembeda yang sangat mudah di identifikasi siapapun, agar tidak terjadi kesalahan saat pengisian bahan bakar oleh operator SPBU maupun konsumen), dan Pertamax di beri warna Biru, Pertalite warna hijau dan Pertamax Turbo warna merah.

Dari situ, masyarakat awam termasuk penulis akan memahami bahwa proses *Oplos atau Blending* memang harus dilakukan dalam kilang untuk mendapatkan RON yang di persyaratan untuk menjadi Pertalite atau Pertamax.

Jadi ketika masyarakat marah akan isu oplosan yang pertama kali di sampaikan Kejaksaan, perlu di jelaskan sebagaimana penjelasan ahli dari ITB tersebut.

Namun, kini timbul pertanyaan lagi; apakah NAFTA yang di import itu, memiliki spesifikasi berbeda antara NAFTA yang diperuntukan untuk produksi RON 90(Pertalite) dengan NAFTA yang diperuntukan untuk RON 92(Pertamax)?, karena yang menjadi kasus Korupsi itu adalah pembelian NAFTA RON 90 namun di nyatakan dalam dokumen menjadi RON 92.

Apakah hasil distilasi, reforming, kraking, pemberian additive dan lain lain, akan berbeda jika bahan dasar nya adalah NAFTA untuk Ron90 atau RON92?

Simple nya, apakah NAFTA untuk Ron90 kualitas nya lebih rendah di banding NAFTA untuk Ron92?

Di sini Kejaksaan perlu menelusuri lebih tajam tentang teknis produksi dan bahan bahan pembuat BBM tersebut, agar masyarakat bisa teredukasi, dan kasus ini benar benar jelas, selain kasus Korupsi, apakah juga ada manipulasi spesifikasi, sehingga merugikan masyarakat? Karena banyak kasus yang viral terjadi di masyarakat, ternyata Pertamax membuat laju mesin kendaraan jadi tersendat, atau isu Pertamax yang kotor dan lain nya yang beredar di masyarakat.

Harus dijelaskan fenomena yang beredar di masyarakat tentang kualitas Pertamax yang diduga kurang baik itu, adalah fenomena apa?

Apakah bahan dasar atau NAFTA itu berbeda dengan yang biasa di gunakan untuk NAFTA produksi Pertamax?

Atau, saat proses pemberian additive di Pertamina Patra Niaga mengalami penurunan kualitas additive?

Yang pasti, pelajaran kasus ini sangat mahal, melebihi mahalnya korupsi yang dilakukan, uang sebesar Rp.193.7T di tahun 2023, berarti jika sudah dilakukan sejak tahun 2018, maka kerugian negara sebesar kurang lebih 1000T, namun kerugian masyarakat harus diteliti juga, apakah benar kualitas Pertamax itu mengalami penurunan? Hal itu jauh lebih mahal karena menyangkut kredibilitas PT.Pertamina.

Jadi para pejabat Pertamina jangan hanya minta maaf dan mengklaim bahwa Pertamina menjamin kualitas Pertamax sudah sesuai spesifikasi, karena komunikasi publik yang seperti itu justru akan membuat masyarakat tambah gemas, dan merasa di bodohi, cobalah lakukan audit besar besaran di semua SPBU misalnya, yang dilakukan lembaga independen dan dilaporkan oleh akuntan publik di semua platform media.

Audit itu yang nanti menjadi judge atau hakim, tentang produk Pertamax, yang terbukti baik atau tidak, sebagai laporan untuk mengedepankan kepuasan konsumen (masyarakat) yang mana diperuntukan juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Pertamina secara keseluruhan.

Ada benarnya pepatah lama:
*Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya*

Kita tidak ingin pepatah itu berlaku pada Pertamina, atau BUMN lain.


Wallahu'alam bisawab
5 Maret 2025
Sjamsoel Ridzal
© Copyright 2022 - INTERNATIONALEDITORIAL.COM