Kita tahu, 17 kali Presiden Joko Widodo berkunjung ke Papua, selama beliau memerintah Indonesia sejak 2014.
Sebuah angka kunjungan terbanyak presiden Republik Indonesia ke Papua sejak zaman Sukarno, hingga kini.
Kita tahu juga, Presiden Joko Widodo sudah memberikan statement nya tentang divestasi saham Freeport sebesar 51%, mungkin untuk itulah presiden mengunjungi Papua selain membangun infrastuktur di sana.
Terlepas dari kontroversi tentang divestasi 51% tersebut, yang di sebut sebut akan dilaksanakan PT.Antam sebagai BUMN yang bergerak di bidang tambang, ada hal lain yang mungkin tidak di kalkulasi oleh pihak intelijen negara kita?
Lemhanas pernah merilis satu paper, bahwa ekskalasi kekerasan di Papua meningkat dan bisa di katakan terbesar sepanjang sejarah, justru di zaman Presiden Joko Widodo memerintah.
Padahal teori politiknya, Joko Widodo menang telak di Papua saat Pilpres 2014 maupun 2019, logikanya, Papua harusnya semakin minim gejolak, karena sebagian besar rakyatnya memilih Presiden Jokowi, lalu tiba tiba ada anomali...ada apa?
Dari paper Lemhanas tersebut, apakah seharusnya pihak istana (mungkin sudah di lakukan atau belum?) melakukan kajian lebih dalam,sebagai tindakan deteksi dini untuk mengetahui setiap perkembangan ancaman Kamtibmas yang mungkin berkembang di Papua.
Bisakah kita tarik benang merah secara samar samar, setelah ada divestasi saham Freeport 51%,lalu mengapa tindak kekerasan yang di lakukan OPM semakin meningkat eskalasinya?
*Adakah kaitan kedua hal tersebut?*
Fakta selanjutnya, serangan brutal OPM pada prajurit TNI dan Polri serta warga sipil, semakin meraja lela, bahkan di sinyalir bisa menggugurkan pasukan elit TNI dan Brimob Polri.
Apakah mungkin OPM bisa secanggih itu? Menyerang bagaikan pasukan elit? Atau ada pasukan lain yang ikut membantu? *Foreign Legion* (Tentara bayaran) Atau ada pelatihan khusus yang dilakukan pihak asing terhadap OPM? (Baca artikel sebelumnya: *Tentara Bayaran, profesi elit atau ilusi?* ,Sjamsoel Ridzal, 17 Agustus 2020)
Itu semua perlu di urai satu persatu, dilakukan kajian intelijen yang mendalam, adakah kaitan, satu sama lain, fakta OPM ini dengan Divestasi Freeport?
Mari kita coba satu deduksi, sebuah metode yang lazim di gunakan dalam konteks intelijen.
OPM tersebut, ternyata memiliki senjata AR-15 (singkatan dari Armalite model 15) adalah senapan semi otomatis, yang mirip dengan senapan otomatis M16 atau karabin M4
Di Amerika, negara produsen senjata tersebut, banyak menjual senjata ini, untuk masyarakat sipil.
Produsen AR-15 ini bernama Armalite, berlokasi di Arizona, satu lokasi negara bagian dengan Mc.Moran, pemilik Freeport.
Dari data itu, intelijen sudah selayaknya menjadikan hal ini sebagai info awal, untuk menyelidiki kemungkinan kemungkinan terburuk.
Tidak ada bahasa *husnudzon* dalam intelijen, apalagi di era Asimetric War dewasa ini.
Data lain, Joe Biden, Presiden Amerika mengunjungi Papua New Guinea, padahal sudah sekitar 100 tahun, pemimpin Amerika tidak pernah berkunjung ke negara negara Pasifik Selatan, seperti Papua New Guinea.
Ada apa?
Lalu, negara kecil di timur New Zealand, yaitu negara *Vanuatu* begitu rajin memojokan Indonesia di forum Internasional (PBB), tentang isu Human Rights di Papua.
Apakah ini seharusnya sudah menjadi data deduksi intelijen tentang masalah di Papua?
Data terakhir, Prof.Mahfud.MD, Menko Polhukam pernah menyampaikan, bahwa, perjanjian Freeport dengan Republik Indonesia itu, sejak dulu hanya menguntungkan Freeport saja, bahkan ada satu klausul dalam perjanjian nya, Freeport ber hak untuk mengelola, dan bisa di perpanjang waktu nya, sesuai dengan kajian teknis dan ekonomis Freeport di lapangan.
Jadi menurut Prof.Mahfud MD, meski kita menekan Freport, dan melakukan pemutusan kontrak, maka Indonesia akan di bawa ke pengadilan Arbitrase Internasional.
Dan Indonesia pasti kalah, karena perjanjian itu telah di tanda tangani para pihak, tanpa batas waktu.
Penulis paham, pemerintah Indonesia sejak zaman Sukarno hingga kini, mengedepankan politik luar negri yang seolah mengecilkan masalah di Papua, justru karena kita tahu OPM itu berlindung di bawah bayang bayang Amerika dan sekutunya, yang selalu berbuat "genit" terhadap isu isu HAM.
Penulis paham, untuk antisipasi hal itu, maka separatis Papua (OPM) disebut KKB, (Kelompok Kriminal Bersenjata) , guna menunjukan bahwa ini wilayah tupoksi Polri, bukan TNI yang memiliki tupoksi perang, karena jika secara jelas Pemerintah Indonesia mengatasi Separatis Papua dengan DOM (Daerah Operasi Militer), maka Amerika dan sekutunya akan menyerang Indonesia dengan diplomasi kotor di PBB, atau bahkan mengirim pasukan ke Papua, seperti kisah Timor Leste yang akhirnya lepas dari Indonesia.
Hingga beberapa dekade, ide politik luar negri Indonesia yang seolah mengecilkan Separatisme menjadi Kriminal, seolah berhasil...namun hati hati...akibat efek Divestasi 51% Freeport itu, bisa saja Mc.Moran merasa kepentingan Amerika secara nasional jadi terganggu.
Kita harus paham, "National Security Law" di Amerika memungkinkan seorang Presiden, untuk minta persetujuan senat, untuk berperang, jika kepentingan nasional mereka terganggu.
Hasil pajak Freeport, itu masuk ke kas Amerika, dan berkontribusi sangat signifikan bagi ketahanan ekonomi negara itu, saat ini Amerika sedang mengalami krisis ekonomi, bahkan di sinyalir Agustus 2023 akan mengalami "hal luar biasa" dalam ekonomi nya, tentu mereka akan berfikir untuk tetap menjadikan Freeport berkontribusi maksimal pada ekonomi Amerika.
Meminjam istilah rahimahullahu ta'ala, DR.Sutan Batugana, ini sinyal yang ngeri ngeri sedap, Amerika yang sedang krisis tentu bisa saja merekayasa kejadian luar biasa di Papua, yang membuka legalisasi tentaranya untuk hadir di bumi Papua.
Penulis sadar betul, bargaining Republik Indonesia itu sangat lemah di mata Internasional, khususnya tentang Freeport dan OPM.
Sampai di situ, penulis sadar, bahwa saat *Founding Father* kita berunding tentang kemerdekaan Bangsa Indonesia, namun menurut penulis, sesungguhnya kita *belum benar benar merdeka*
Kasus ini menggugah batin dan sanubari penulis, akan benarnya sikap Jendral Besar Sudirman yang memilih terus berjuang dengan perlawanan senjata, daripada berunding yang di usung Sukarno, yang ternyata menjadi batu sandungan besar bagi bangsa Indonesia dewasa ini.
Indonesia, are you ready for a war ???
Wallahu'alam bisawab
Catatan Sjamsoel Ridzal 08/07/2023
Redaksi 17/02/2025
Social Header