Ketika bicara masalah Geopolitik dan Geostrategis, akan membuat penulis sangat bersemangat, karena persoalan tersebut merupakan topik favorit di samping topik Ekonopolitik dan Sosialpolitik.
Dalam berbagai artikel, penulis sampaikan tentang *Westralia* atau West Australia (Australia Barat) yang *secara historis sudah berkali kali ingin merdeka dari negara commonwealth Australia*. Harusnya Indonesia bisa mendukung kemerdekaan Westralia, dengan satu peran *pertahanan aktif* yang terbaik, yaitu *menyerang*.
Apa yang dimaksud dengan menyerang, adalah melemahkan posisi kekuatan sosial politik dan militer Australia, demi *Nation Interest Indonesia*
Seharusnya doktrin pertahanan Republik Indonesia ini memiliki *Nation Interest* yang di maktubkan dalam UU, dimana UU tersebut mendukung garis politik luar negri yang lebih agresif.
Misalnya, Parlemen Indonesia (DPR) membuat UU tentang: "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa" dan hal tersebut di terjemahkan dalam politik luar negri agresif yang berkesan *ofensif*, seperti kasus Westralia tersebut.
Jika negara lain membalikan politik tersebut dengan mengatakan *Papua juga berhak merdeka* , maka pola pikir politis negara harus mengatakan, *justru karena Indonesia adalah negara merdeka, dan Papua berada dalam integrasi Indonesia, maka Indonesia bebas dan merdeka untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari negara kita.*
Semua negara besar melakukan politik luar negrinya seperti itu, *(Yaitu menguatkan subyektivitas demi bangsa dan negara)* bagi penulis sudah saatnya konsep pertahanan negara kita, bukan seperti pertahanan *keeper* dalam sepak bola yang menunggu serangan, baru lompat sana, lompat sini berusaha menangkap bola.
Kita hadirkan pertahanan negara yang sifatnya lebih agresif, yaitu pertahanan sambil menyerang,bukan lagi politik luar negri yang berkesan *good boy* karena kedepan nya, situasi Geopolitik akan sangat berbeda dengan 50 tahun lalu, atau saat Gerakan Non Blok di bentuk, atau juga saat ASEAN berdiri.
Dari perspektif seperti itu, penulis menilai situasi Geopolitik dan Geostrategis dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara, *kini sedang tidak baik baik saja.* Di antara negara-negara ASEAN saja, tidak lagi seakrab seperti zaman Presiden Soeharto, dimana stabilitas politik kawasan menjadi perhatian bersama, dimana Indonesia pernah melakukan operasi militer yang melibatkan 3 Matra dalam melindungi Presiden Philipine dari kemungkinan Kudeta.(Baca: Soeharto Macan Asia, 2020, Sjamsoel Ridzal)
Saat itu ASEAN bagaikan saudara yang memiliki tenggang rasa dan tepo seliro yang sangat tinggi.
Namun kini, ketika ada klaim 9 dash line China, yang secara terang terangan menantang negara-negara ASEAN, untuk berkonflik dengan RRC tentang wilayah kedaulatan negara, tidak ada satu perlawanan terpadu dari ASEAN terhadap RRC, terkesan tiap tiap negara ASEAN berjuang dengan kepentingan nya masing masing.
Di sisi lain, Amerika sudah membangun 15 pangkalan militer yang seolah mengepung Indonesia, Taiwan dan Jepang serta Korea Selatan, mendukung Amerika dengan berpartisipasi dalam pembangunan pangkalan militer Amerika, lalu Philipine bergerak merapat pada kebijakan Amerika, jelas sekali arah Politik Philipine berpihak pada Amerika, demikian juga dengan Singapore, memainkan politik 2 kaki, berpihak pada Amerika, namun sekaligus memihak RRC sebagai sikap romantisme keturunan China (Philipine sekutu Israel dan Amerika, Baca: Mencoba Membaca Politik Luar Negri Indonesia, 2018 Sjamsoel Ridzal)
*Indonesia mau berpihak kemana?*
Kita punya Pancasila dan UUD 1945, namun kita seolah tidak bisa memainkan peran aktif dalam politik luar negri kita seperti di zaman Sukarno dan Soeharto.
Kondisi unjuk kekuatan dan aliansi antara Amerika dan China di Asia dan Asia Tenggara, tidak bisa di sikapi dengan politik luar negri bebas aktif lagi yang cenderung selalu di tengah, seolah menjadi ragu-ragu.
Indonesia akan berkesan plin plan dan akan di sikat habis oleh kedua raksasa militer dunia dan proxynya yang sedang berhadap hadapan di LCS (Laut China Selatan)
Mengapa Indonesia tidak bisa lagi netral dalam memandang konflik Amerika dan China di Asia dan Asia Tenggara?
Karena, sebagaimana kita belajar dari World War 2 , ketika Jepang memasuki Asia Tenggara, di Philipine lalu Indonesia, Jepang memperlakukan Philipine dan Indonesia sebagai *battle field* atau medan pertempuran dengan Amerika.
Philipine dan Indonesia tidak di anggap berdaulat,hanya di pandang sebagai *resourches* untuk support peperangan.
Dengan seenaknya Jepang masuk wilayah Indonesia dengan propaganda *saudara tua* ,dan di sisi lain mereka mengejar tentara Amerika dari Morotai hingga laut utara Australia.
Belajar dari hal ini, harus nya Indonesia sadar dan pandai menguatkan politik dalam negri, sebagai konsolidasi masif antara pemerintah dan rakyat, antara TNI Polri dan rakyat. Bukan nya memainkan politik belah bambu yang menguntungkan segelintir pelaku politik praktis di lembaga Eksekutif, Legislatif dan bahkan Yudikatif
Harusnya pemerintah melihat peta politik Indonesia di Geopolitik dunia, yang saat ini, semakin menyeret Indonesia untuk terlibat dalam keputusan tidak menyenangkan, yaitu: *Perang Regional*
*Perang?*
Ya, perang regional di Asia Tenggara, yang kini secara tidak langsung, anasir dua kekuatan raksasa dunia sedang berhadap hadapan, yaitu Amerika dan China.
Sejak beberapa tahun lalu, ketegangan di LCS (Laut China Selatan) sudah semakin panas, di semenanjung Korea pun demikian, lalu di Taiwan pun demikian.
Namun, dari semua posisi panas di wilayah itu, belum terlihat pertempuran head to head antara China dan Amerika, atau Amerika dan sekutu, melawan China dan sekutunya termasuk Russia (Di Korea)
Mereka saling mengintip dan mengintai, apalagi 40% negara negara di tahun 2024 ini akan mengalami election (pemilu), mereka akan memilah, memilih dan menilai, negara mana yang bisa menguatkan hegemoni mereka di dunia.
Di Indonesia pun, 14 Februari 2024 mengadakan Pemilu Presiden dan Parlemen. Di saat itu, posisi strategis politik Indonesia ke depan nya akan menjadi incaran Amerika dan China.
Keduanya akan saling tarik menarik kepentingan mereka, dengan menebar intelijen mereka untuk mengarahkan Indonesia ke suatu situasi yang menguntungkan mereka.
Katakan saja, jika election di Indonesia terjadi kekacauan, hingga terjadi bentrokan antar masyarakat pendukung Capres, atau misalnya terjadi sengketa Pemilu, maka kondisi chaos adalah suatu situasi yang menguntungkan Amerika atau China untuk *cawe cawe* masuk ke Indonesia dengan alasan HAM atau melindungi aset mereka di Indonesia.
Apa artinya?
Artinya Indonesia akan menjadi battle field bagi mereka, dua kekuatan raksasa yang malu malu saling mengintai di Asia Pasifik akan mendapat alasan untuk mulai menggerakan pasukan dan alutsista nya.
*Nah...itulah yang perlu di antisipasi segera oleh Pemerintah dan TNI Polri, caranya adalah konsolidasi dan merapatkan barisan dan harmonisasi Pemerintah, TNI Polri dengan segenap komponen masyarakat, yang sempat terbelah akibat politik praktis pilpres 2019.*
Pilpres 2024, harusnya Presiden segera konsolidasi kekuatan bangsa menghadapi ancaman dari luar yang sangat nyata di utara Indonesia, sudah saatnya tidak berfikir partai atau kelompok, apalagi nepotisme keluarga...tapi pikirkan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Siapapun pemenang Pilpres 2024 ini, harus menjaga stabilitas politik dalam negeri, Jagan sampai ada perpecahan yang di inginkan pihak asing.
*Bisa saja sikap next presiden setelah pilpres 2024, akan terlihat ambigu, peragu dan cenderung hati hati, karena memang letupan kecil bisa segera membesar di situasi seperti saat ini.*
Redaksi 16/02/2025
Wallahu'alam bisawab
Catatan Sjamsoel Ridzal 11/09/2023
Social Header