Bandung: Mosaik Sejarah & Cerita Rakyat
Sjamsoel Ridzal
29 Maret 2019
18 Januari 2025
Asal usul nama dan hal menarik lainnya tentang ibu kota Jawa Barat
Ada banyak versi tentang asal usul nama “Bandung”. Artikel ini mencoba menghimpun beberapa versi tersebut dan beberapa keunikan yang terdapat di Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Semoga ini dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh tentang keindahan Kota Bandung dan sejarahnya.
Dalam salah satu versi populer, “bandung” berasal dari kata “bendung” (bendungan) atau “bendungan” (bendungan). Hal ini dikarenakan letak Bandung yang dikelilingi oleh pegunungan yang berfungsi sebagai bendungan alam. Konon, dataran tinggi Bandung dulunya merupakan danau prasejarah yang terbentuk saat Gunung Tangkuban Parahu purba meletus dan lavanya yang mengeras membentuk bendungan yang membendung derasnya Sungai Citarum.
Namun dalam versinya tentang asal usul nama tersebut, sastrawan Sunda dan budayawan terkemuka KH Hasan Mustopa, yang juga seorang politikus di era Kolonial Belanda, mengatakan bahwa di sisa-sisa danau Bandung yang dulunya luas, orang-orang sering menggunakan dua perahu yang diikat berdampingan sehingga menjadi lebih kokoh. Perahu semacam itu disebut perahu bandungan; dalam bahasa Indonesia, bandungan berarti “berpasangan” atau “berdampingan”.
Pengertian “bandungan” yang berarti “berpasangan” atau “berdampingan” juga disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1994) dan Kamus Sunda-Bahasa Indonesia (1996). Dalem (Bupati) Bandung keenam, RA Wiranatakusumah II (1724-1894), yang populer dengan julukan “Dalem Kaum”, konon katanya pernah menyusuri Sungai Citarum menggunakan salah satu perahu bandungan untuk mencari ibu kota baru bagi daerahnya, untuk menggantikan ibu kota lama, yaitu Dayeuh Kolot (yang secara harfiah berarti “Kota Tua”).
Dayeuh Kolot yang sekarang masih terletak di bagian paling selatan Kabupaten Bandung, dan dapat diakses melalui Jalan Mohamad Toha, dan Jalan Cibaduyut. Dari sini, kita dapat menuju ke kota Bale Endah dan Banjaran. Dan jika kita memilih untuk melanjutkan perjalanan ke perkebunan teh Ciwidey, Kawah Putih (yang secara harfiah berarti “kawah putih”), sebuah danau kawah berwarna biru kehijauan yang indah yang dikelilingi oleh batu-batuan dan tanah putih bersih. Ada juga perkebunan teh Ciwalini dan Ranca Upas yang indah, yang semuanya merupakan tujuan wisata populer. *Kota Bunga*
Seperti nama resminya “Bandung”, asal usul julukan kota yang terkenal itu, “Kota Kembang”, juga memiliki beberapa versi asal usul. Salah satunya berakar pada makna yang lebih nakal dari “bunga”. Seperti yang ditulis mendiang Haryoto Kunto, ” _Penjaga Bandung_” dalam bukunya “Bandoeng Tempo Doeloe” (Bandung Masa Lalu), pada tahun 1896, _Bestuur Van De Vereniging van Suikerplanters_ atau Perkumpulan Pengusaha Gula yang berkantor pusat di Surabaya, menyelenggarakan kongres pertamanya di Bandung. Panitia kongres menyediakan hiburan bagi para pengusaha peserta kongres. Hiburan itu antara lain menyediakan puluhan pekerja seks, baik lokal, Tionghoa, maupun Belanda, yang ditempatkan di tempat-tempat khusus yang telah ditentukan di dekat tempat menginap para peserta kongres. Para wanita malam yang berbusana sangat cantik dan berdandan ala kadarnya itu disebut “kembang”. Dan dari situlah asal usul julukan yang sangat populer itu, Kota Kembang. Versi ini, tentu saja, adalah versi yang paling tidak populer di kalangan orang Bandung yang sombong.
Versi yang lebih romantis dan lebih diterima secara luas adalah bahwa Bandung yang beriklim sedang dengan udaranya yang sejuk dan segar, dulunya adalah tempat banyak taman yang dipenuhi ribuan bunga berwarna-warni. Dan memang, hingga akhir tahun tujuh puluhan, banyak sudut kota yang menyenangkan ini digunakan oleh para penjual bunga segar untuk memajang barang-barang mereka yang cantik dan harum. Yang, sayangnya, sekarang sudah benar-benar hilang, kecuali satu atau dua tempat yang ditakdirkan oleh Kota untuk menjadi pasar bunga.
Banyaknya taman di Bandung telah memberinya julukan lain, yaitu Parijs van Java (Paris dari Jawa). Kita juga dapat mengaitkan julukan ini dengan banyaknya bangunan indah yang sangat berharga dalam arti sejarah arsitektur. Hotel Savoy Homann dan Preanger, misalnya. Kedua hotel tua ini dibangun dengan gaya Art Deco yang populer di tahun dua puluhan. Dan kemudian ada Aula Barat Institut Teknologi Bandung yang megah, yang menawarkan harmoni antara rumah-rumah tradisional tropis kuno Indonesia dengan arsitektur Eropa (Belanda) yang lebih baru. Dan jangan lupa gedung Indonesia Menggugat, gedung pengadilan tempat Sukarno pernah berdiri untuk membacakan pembelaannya.
Berdasarkan survei majalah _Time_ yang diadakan pada tahun 1990, Bandung bahkan memperoleh gelar sebagai salah satu kota teraman di dunia (Rafael V. L. Mrázek R, 1990)
*Jalan Ir. H Juanda atau Dago*
Jl.Ir. H Juanda adalah salah satu jalan terpenting di Bandung, yang menghubungkan bagian utara kota dengan bagian selatannya.
Jalan yang dulunya indah ini dengan pohon agathis yang tinggi dan ramping tumbuh di kedua sisinya, merupakan akses utama bagi para mahasiswa dari dua sekolah terkemuka, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran, untuk mencapai kampus mereka. Jalan ini juga dihiasi oleh beberapa kampus kecil lainnya, dan dua sekolah menengah atas. Saat ini, banyak sekali factory outlet, distro, kafe, dan hotel yang memenuhi kedua sisi jalan ini.
Bagi warga Bandung, jalan lama ini lebih dikenal dengan sebutan Jalan Dago.
Konon, dulunya jalan ini hanya jalan tanah yang membelah hutan Bandung bagian atas. Jalan ini menghubungkan Bandung bagian utara dengan kota pertanian Lembang, dan Gunung Tangkuban Parahu. Hutan di sekitar gunung tersebut merupakan sumber pohon-pohon besar yang ditebang oleh penebang kayu tradisional dan dibawa ke kota. Untuk menghemat waktu dan tenaga, para penebang kayu yang akan membawa pohon yang ditebang ke Bandung akan menunggu teman-teman mereka dan kayu-kayu di jalan tanah ini, terkadang hingga senja. Dalam bahasa Sunda, menunggu disebut ‘ngadagoan’. Dan ini—setidaknya menurut adat istiadat masyarakat—adalah asal muasal nama Dago. Mereka yang menghabiskan masa remajanya di Bandung pada era delapan puluhan dan sembilan puluhan pasti ingat masa-masa ketika Jalan Dago menjelma menjadi lintasan balap liar. Setiap Sabtu malam, para remaja berkumpul, sebagian menjadi penonton, sementara yang mengendarai sepeda motor menderu di sepanjang jalan diiringi sorak sorai para remaja. Jalan bersejarah ini kini bernama Jalan Ir H Djuanda, diambil dari nama Perdana Menteri Indonesia ke-10, Ir H Raden Djoeanda Kartawidjaja (menjabat 1957-1959). Hutan lindung di kawasan Dago, yang dulunya bernama Dago Pakar, kini juga menyandang nama mantan Perdana Menteri, Taman Hutan Raya Ir H Djuanda. Taman ini memiliki banyak tempat yang indah untuk mendirikan tenda atau sekadar duduk menikmati matahari terbit, serta beberapa tempat bersejarah. Salah satunya adalah Bunker Militer Jepang. Banyaknya terowongan yang bersimpangan ini digali oleh militer Jepang, di atas bebatuan vulkanik raksasa di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Tempat misterius lain yang digemari wisatawan di Taman Hutan Raya Ir H Djuanda adalah Gua Belanda. Yang dulunya merupakan terowongan menuju Pembangkit Listrik Tenaga Air Dago yang dibangun oleh Kolonial Belanda pada tahun 1911, kini menjadi objek wisata. Cerita-cerita hantu yang menghiasi tempat ini lebih menarik bagi wisatawan daripada menakut-nakuti mereka. Bandung sungguh menakjubkan, dengan taman dan bangunannya yang indah, orang-orang yang kreatif, serta budaya dan kuliner Sunda yang lezat. Kota ini benar-benar permata Jawa Barat—provinsi yang sangat cantik dan subur dengan banyak tempat menarik. Jika Anda belum pernah mengunjungi Bandung sekali pun dalam hidup Anda, Anda menjalani hidup yang hampa.
Referensi
PPID, Diskominfo Kota Bandunghttp://dongengceritarakyat.com/kumpulan-dongeng-sunda-cerita-rakyat-bandungRafael V.
L., Mrázek R., (1990), Tokoh kriminalitas di Indonesia, Filipina, dan kolonial Vietnam, SEAP Publications, ISBN 978-0-87727-724-8KH.
Hasan Mustafa, Bale Bandung, 10 Agustus 1924Faiz Syahrial Akbar,
https://www.inspirasi.co/faiz_sa/33797_sejarah-kota-bandung-dengan-julukan-kota-kembangKunto, Haryoto., Bandoeng Tempo Doeloe., Granesia: 1988
Social Header